Kemerdekaan belajar dalam homeschooling
Indonesia akan merayakan kemerdekaan ke 71 tahun , usia yang sangat matang untuk sebuah negeri. Kita sudah melalui perjalanan panjang sampai di usia ini. Tetapi apakah Indonesia sudah cukup dewasa dalam memandang masa depan ?
Siapa yang paling pegang peranan menentukan nasib negeri ini di usia 72, 73, 80 dan seterusnya ? Tentunya ANAK-ANAK BANGSA. Banyak yang memberikan penilaian bahwa kualitas ANAK BANGSA saat ini semakin “bermental TEMPE” , semakin tidak bisa diandalkan lebih parah lagi , sumber masalah melulu. Tapi apa benar demikian ? Apa itu memang mutlak kesalahan mereka ? siapa yang menghasilkan mental TEMPE ?
Yang disoroti saat ini , yang paling menonjol adalah masalah PENDIDIKAN. Kondisi pendidikan saat ini sangat membingungkan. Anak-anak belajar ketika ada Guru, tetapi langsung riuh ketika guru meninggalkan kelas. Kalau di survey (mayoritas) paradigma pemikiran anak pada waktu belajar adalah dengan alasan ; takut gak naik kelas, takut dimarahi orangtua, takut dikeluarkan dari sekolah, takut ….takut…takut.
Baca Juga : Wisata Belajar Ke Kota Tua
Alasan mereka belajar karena RASA TAKUT. Alasan pergi ke sekolah menjadi bias.
I COME TO SCHOOL TO MEET MY FRIEND NOT TO ENTER THE CLASS.
Kenapa mereka tidak bisa menyukai belajar seperti bermain game ? seperti menonton kartun ? seperti jalan-jalan ke mal ? seperti pesta ? Kenapa hal-hal tersebut bisa lebih memikat anak-anak. Itu adalah karena pada waktu bermain game, menonton kartun, jalan-jalan dan pesta ; anak akan merasakan apa yang disebut KEMERDEKAAN.
KEMERDEKAAN BELAJAR adalah prasyarat agar anak GEMAR BELAJAR. Sudahkan anak-anak mendapatkan KEMERDEKAAN BELAJAR ?
Belajar yang semula aktifitas alami, dirampas menjadi agenda orang dewasa yang dipaksakan pada anak, diseragamkan pada semua anak. Pendidik mendikte dimana dan kapan waktu belajar tanpa peduli apapun yang dialami anak. Pendidik mendikte tujuan dan materi yang harus dipelajari anak, meski tidak relevan dalam kehidupan anak.
Bila ada anak yang membandel, orang dewasa mengendalikannya dengan ganjaran,hukuman, cap kepada anak. Diiming-iming ganjaran bila anak kembali belajar, diberi ancaman hukuman mulai dari hukuman fisik sampai tidak lulus ujian dan tidak naik kelas. Tidak heran bila ujian masih dijadikan monster untuk menakut-nakuti anak agar belajar.
Anak-anak TIDAK PERNAH DIBIASAKAN BELAJAR SECARA MANDIRI KEMERDEKAAN BELAJAR- merasakan perlunya belajar bukan karena TAKUT .
Bapak Pendidikan Indonesia ; Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa ganjaran dan hukuman (reward and punishment) tidak tepat digunakan untuk mengajarkan tanggung jawab dan menegakkan disiplin kepada anak didik.
Ki Hajar mengatakan bahwa “ganjaran dan hukuman jangan diberikan agar anak tidak berperilaku karena sekedar mendapatkan hadiah atau menghindari hukuman.”
Selanjutnya Ki Hajar berpendapat bahwa “ yang menghancurkan budi pekerti adalah paksaan dan hukuman.” Dengan kata lain, KEMERDEKAAN BELAJAR setiap anak didik harus didik secara humanis, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan karena pada dasarnya pendidikan adalah sebuah proses untuk “memanusiakan manusia.”
Sangat disayangkan jika kemudian ada wacana yang mengatakan “kekerasan di lingkungan sekolah / lingkungan pendidikan itu sah-sah saja dengan alasan untuk membentuk perilaku anak”.
Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Kekerasan tidak akan berbuah kebaikan.
Belajar dari kasus perpeloncoan di sekolah yang jadi kebiasaan turun temurun dari jaman orangtua kita, dan baru saat ini dihapuskan. Bukankan itu berasal dari MENCONTOH KEKERASAN ? WARISAN KEKERASAN ? KEBIASAAN KEKERASAN ?
Kita mengajarkan kekerasan saat ini dan percayalah di masa yang akan datang ; kita bisa menyaksikan cucu kita melakukan hal yang sama pada anak-anaknya. Nanti , kita sendiri yang akan miris sendiri melihatnya, ngilu….padahal kita yang ajarkan.
Ada juga wacana pengamanan anak di dalam lingkungan sekolah. Menganggap bahwa ; dengan lebih lama anak di dalam sekolah maka akan lebih aman dan lebih terkoordinir. Bagaimana dengan kejahatan di dalam lingkungan sekolah. Berapa banyak video kekerasan di dalam kelas dilakukan murid dengan murid, berapa banyak kakak kelas di suatu SMA terkemuka di Jakarta dikeluarkan karena menyiksa adik kelas. Berapa banyak guru yang melakukan pencabulan di dalam sekolah ? Berapa banyak buku yang bermuatan politis dan soal ujian yang tidak pantas dibaca anak-anak ?
Apakah lebih lama di dalam sekolah adalah solusinya ?
Dalam kutipan artikel dari Bp.Anies Baswedan – Mantan Mendikbud menuliskan bahwa ; KELUARGA adalah pilar pendidikan yang pertama dan terutama. Bahkan di masa jabatan beliau di Kementrian Pendidikan dibentuk Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Dalam rangka pemerintah menyiapkan diri membentuk keluarga dalam mendidik anak-anak mereka.
Saat kita m
erayakan kemerdekaan, kita perlu ingat bahwa sesungguhnya pilar penjaga kemerdekaan itu adalah keluarga. Benih kecintaan kepada bangsa dan kemauan untuk berkarya demi bangsa tumbuh dari hati keluarga. Rumah bisa sederhana atau mewah, tapi suasana batin keluargalah yang menjadi penumbuh rasa kebangsaan ini, rasa kemerdekaan. INDONESIA STRONG FROM HOME ! Kekuatan Indonesia ini berasal dari Keluarga. Bagaimana Keluarga mendidik anak-anaknya. Keluarga yang menentukan masa depan Indonesia.
Indonesia telah merdeka, tapi anak-anak Indonesia masih TERPAKSA BELAJAR , belum MERDEKA BELAJAR. Beri kemerdekaan sekarang juga, jangan sampai anak-anak kita berteriak “Merdeka atau Mati!”
Baca Juga : Internet di Era Modern