Saya yakin banyak Ayah Bunda yang telah mengerti soal Pasar Bebas. Tapi saya juga yakin, sebagian lagi mungkin baru sebatas mendengar tentang Pasar Bebas, tapi tak benar-benar memahami dampaknya pada diri kita atau anak-anak kita kelak.
Padahal, Pasar Bebas bukan main-main dan bukan sekadar isu yang bisa kita abaikan.
Begitu seriusnya masalah Pasar Bebas ini, sejak 2006 saya bahkan sudah mulai berkampanye soal persiapan menghadapinya. Tanpa persiapan yang matang, anak-anak kita akan tergilas dalam persaingan ketat di era Pasar Bebas. Saya takkan heran bila banyak anak Indonesia yang akhirnya menjadi ‘budak’ di negerinya sendiri. Karena itu, ayo kita ‘melek Pasar Bebas’ sejak sekarang!
Apa sih Pasar Bebas?
Pasar Bebas adalah suatu kondisi ekonomi ketika jual beli produk antar individu atau perusahaan di beberapa negara ditentukan sepenuhnya oleh pasar. Pemerintah tidak melakukan intervensi atau membuat peraturan yang mempengaruhi perdagangan atau harga produk. Tidak ada pajak ekspor impor, bea masuk atau biaya tambahan seperti yang biasa terjadi dalam perdagangan internasional.
Memang kapan terjadinya?
Sejak 2010, ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) sudah dimulai. Sedangkan 2015 nanti, kita akan mulai bersaing dalam AEC (ASEAN Economy Community) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dengan AEC, ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi internasional. Baik barang, jasa, investasi dan tenaga kerja bisa bebas masuk ke seluruh negara-negara ASEAN.
Lalu, mengapa kita harus peduli?
Pasar Bebas adalah soal persaingan kualitas. Di dalam Pasar Bebas, konsumen yang ingin membeli satu jenis produk akan memiliki begitu banyak pilihan dengan harga yang bersaing.
Bila ada dua produk sejenis dengan perbedaan harga yang tipis, mana yang Anda pilih? Hampir bisa dipastikan, Anda akan memilih produk dengan kualitas yang lebih baik.
Ini baru soal produk. Bagaimana soal Sumber Daya Manusia (SDM)?
Secara teroretis, AEC ‘menjanjikan’ peningkatan kesejahteraan bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Di antaranya karena akses pasar yang lebih besar dan terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih luas.
Pertanyaan besarnya, apakah SDM kita sudah siap? Apa kita mampu menjadi tuan di negeri sendiri?
Coba kita pikirkan sejenak. Tahukah Ayah Bunda, berapa jumlah pengangguran di Indonesia sekarang?
Menurut data Badan Pusat Statistik, angka pengangguran di Indonesia hingga Februari 2013 lalu mencapai 7,17 juta orang. Di antara yang 7,17 juta itu, tak sedikit pengangguran yang lulusan sarjana, pandai baca tulis, punya rapor tanpa nilai merah, serta selalu lulus ujian di sekolah.
Tapi mengapa angka pengangguran tetap tinggi? Padahal sebelum 2010, para pencari kerja hanya bersaing di ‘kandang sendiri’.
Maksudnya, persaingan hanya terjadi antar anak Jakarta dengan anak Bandung, anak Yogya, anak Surabaya, anak Padang, anak Medan, anak Makassar, anak Denpasar dan sebagainya.
Tapi ketika era Pasar Bebas sudah benar-benar berlangsung, para pencari kerja akan bersaing dengan calon tenaga kerja dari Malaysia, Singapura, Fillipina, India… Siapkah anak-anak kita kelak? Jangan sampai mereka hanya menjadi kroco di negerinya sendiri.
Bagaimana agar anak kita sukses di era Pasar Bebas?
Bicara Pasar Bebas berarti bicara tentang kualitas dan spesialisasi. Orang akan bertanya, ‘Apa keahlianmu?’, ‘Apa spesialisasimu?’, serta ‘Kualitasmu di level apa?’.
Karena itu, persiapkan anak-anak kita sehingga memiliki kualitas keahlian yang spesifik. Bukan menjadi seorang yang saya istilahkan ‘generalis’.
Generalis adalah jika seseorang bisa melakukan suatu keahlian tapi kualitasnya hanya rata rata sama dengan kebanyakan orang lainnya. Tanpa ada usaha untuk meningkatkannya. Salah satu sebabnya misalnya ; karena dianggap hanya hobi saja. Sehingga tidak ada satupun dari keahlian tersebut yang bisa membawa ke level lebih tinggi apalagi professional.
Tapi coba bandingkan dengan Tiger wood yang sangat menguasai golf, tapi kualitasnya world class. Kira-kira, apakah Tiger Woods bisa menjadi pegolf kelas dunia bila jadwalnya sejak kecil seperti ini?
Hari Aktivitas
Senin & Rabu Golf
Selasa & Kamis Tenis
Jumat & Sabtu Basket
Howard Gardner, pencetus teori Multiple Intelligences yang telah melakukan riset selama 30 tahun menyimpulkan bahwa setiap anak memiliki satu kelebihan yang akan membawa dia menjadi top of the top bila kelebihan itu terus diasah dan dikembangkan.
Baca Juga : Apakah Ada Persyaratan Untuk Anak Belajar Homeschooling?
Coba sebut satu nama orang top. Sebut nama siapa saja –dari dalam maupun luar negeri– saya yakin orang itu adalah ‘spesialis’.
Addie MS? Orkestra, musik klasik.
Rudy Hadisuwarno? Penataan rambut.
Susi Susanti? Bulutangkis.
Jadi cukup satu bidang saja yang dibutuhkan, tapi kuasai bidang itu sampai mencapai kualitas teratas. Fokuskan anak pada satu bidang yang menjadi minat terbesar dan potensi terunggulnya, lalu asah semaksimal mungkin agar mencapai kualitas world class. Dengan begitu, ia akan mampu bersaing, tidak hanya di tingkat ASEAN, tapi di tingkat dunia.
Terus, apa sistem pendidikan kita sekarang mendukung?
Sayangnya, tidak (atau belum).
Sistem pendidikan di Indonesia mengharuskan seorang siswa mendapat nilai bagus di semua mata pelajaran. Anak dituntut untuk bisa semua. Kita pikir, jika anak dijejali banyak pelajaran, ia akan sukses.
Yang terjadi justru sebaliknya. Ketika anak dijejali terlalu banyak pelajaran, ia hanya akan menjadi orang yang berkemampuan rata-rata. Mungkin banyak hal yang ia ketahui, tapi tak satu pun yang dikuasainya secara mendalam.
Awalnya, semua negara menjalani sistem pendidikan semacam ini. Inilah level pertama sistem pendidikan: Dengan asumsi bahwa semakin banyak yang diketahui seseorang, semakin sukses dia.
Namun riset Dale Carnegie Institute menyatakan fakta-fakta ini:
Orang yang banyak tahu (tapi tidak ada yang mendalam) akan menjadi bawahan.
Di atas mereka, adalah orang-orang yang spesifik di bidangnya.
Posisi paling atas atau biasanya sang owner, adalah orang yang spesialis dan kreatif.
Jepang sudah melakukan Revolusi Pendidikan pada 1930-an dan menghasilkan anak-anak berkualitas internasional.
Negara-negara Eropa melakukan Revolusi Pendidikan pada 1980-an.
Setiap anak dituntut mendapat nilai bagus di semua mata pelajaran. Sekolah dari pagi sampai sore. Sepulang sekolah, digempur kursus dan les sebanyak-banyaknya.
Orang tua bayar mahal, dan anak-anak kelelahan fisik maupun mental. Bukankah ini yang terjadi sekarang? Tapi apa hasilnya, negara kita bukan tambah maju tapi semakin jauh tertinggal, tidak usah jauh dengan negara Korea, dengan Singapura saja kita masih tertinggal jauh.
Kita sudah ketinggalan puluhan tahun. Mampukah kita mengejarnya?
Jawaban saya: Kita pasti mampu! Jika kita mau pasti kita mampu !
Ini rumus mengejar ketertinggalan:
1. Betapa pun jauhnya kita tertinggal, yang penting KITA SADAR BAHWA KITA KETINGGALAN. Dan kita harus tahu seberapa jauh ketertinggalan kita. Misalnya, 30 tahun.
2. KAPAN MULAI MENGEJAR DAN HARUS SEBERAPA CEPAT
BERLARI. Bila kita tahu kita tertinggal sangat jauh, berarti kita harus berlari lebih kencang dan memulainya dari sekarang.
Kalau kita mau, kita pasti bisa!
Jadi, Pasar Bebas itu sebenarnya ‘peluang’ atau ‘ancaman’ sih?
Semua tergantung persiapan.
Bila Ayah Bunda mempersiapkan diri dan anak-anak sebaik mungkin, apalagi sedini mungkin, tentu tak perlu takut menghadapi era Pasar Bebas. Dengan persiapan matang, Pasar Bebas akan menjadi peluang di mana anak-anak Indonesia mempertunjukkan kebolehannya masing-masing pada dunia.
Diambil dari artikel Parenting Ayah Edi.
Baca Juga : Studi Literatur di Perpustakaan Nasional